Jumat, 21 September 2012

La Nuda Vita


La Nuda Vita
Ketika berada di kampung halaman (Galela, Halmahera Utara), sontak terlihat kondisi lingkungan yang begitu amburadul, sehingga mematahkan semangat pulang kampong yang pada awalnya dalam pikirku, bahwa kampong halamanku pasti telah berubah sebagaimana bayanganku ketika berada di rantau. Ternyata alur pikirku meleset 180 derajat. Dari kenyataan itu dalam imajinasiku bahwa ternyata kita hanya berada pada tataran La Nuda Vita, “kita hanya berada pada kehidupan yang hidup belaka, karena kita tidak sanggup mengembangkan hidup yang lebih Survival, artinya kehidupan kita di Galela hanya berada pada tataran hidup saja tanpa ada sebuah keniscayaan survival dengan menghasilkan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi dan ekskresi (meminjam Istilah F Budi Hardiman, dalam tulisan Kompas, 16 Agustus 2012) (Alias Jalan di Tempat) dari keniscayaan tersebut dapat di buktikan dengan berbagai macam contoh kasus di Galela diantaranya :  adanya jalan-jalan air yang dibuat tidak pernah selesai, talud dan parit (Got) yang di buat hanya setengah hati, jembatan yang usianya tidak memungkinkan lagi untuk diseberangi dan kondisi lingkungan lainnya yang kumuh di pertontonkan dan masih banyak lagi, sehingga memunculkan pertanyaan dalam pikiran kita, apakah semua yang terjadi ini penyebab dari kesalahan siapa? Dan kesalehan siapa yang akan mempertanyakan semua ini? Keadaan ini membuat prihatin dengan kondisi lingkungan dan social yang cenderung meresahkan masyarakat, serta banyak hal yang tidak pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah terkait dengan Indikator “Menanggapi kepentingan Masyarakat” (meminjam istilah dari Rustam Ibrahim dalam cetakan bukunya “Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil, suatu catatan INDEKS Masyarakat Sipil Indonesia 2006, yang di sponsori oleh YAPPIKA, IDSS ACCESS, Australia Indonesia Partnership, Februari 2007) dan adanya  kecenderungan Pemerintah Daerah telah melakukan pembiaran terhadap lingkungan dan Alam serta kepentingan rakyat secara berkesinambungan (Sustainabilities of the People Interest) sehingga apa yang menjadi prioritas kebijakan tidak pernah dilakukan dan dilaksanakan, padahal ini merupakan kewajiban mutlak yang mestinya di tunaikan, kemudian memunculkan dalam alam pikiran kita pula untuk apa di bentuk Dinas-Dinas yang memang bekerja dan mengurus Lingkungan dan masyarakatnya itu? Lalu Kemanakah sikap Para Penguasa dan Wakil-wakil Rakyat yang kerjanya untuk mengontrol semua itu? sebut saja Eceng Gondok, Kopra dan Keresahan Social lainnya yang dianggap kecil itupun cenderung raib dari dialektika cara berpikir mereka adalah La Nuda Vita.




1.     Eceng Gondok
Kasus Eceng Gondok telah ramai di bicarakan, baik dalam diskusi-diskusi baik secara formal, seminar-seminar maupun di jejaring social (Tweeter, Facebook pribadi maupun dalam Group-group diskusi di Faacebook baik  BANGSAHA–O’GALELA’NO, maupun Galela Community) serta dalam diskusi—diskusi formal, bahkan di muat dalam berita koran Mingguan, maupun Harian lainnya baik keuntungan maupun kerugian yang ditimbulkannya. Kaitan dengan tema ini : Pada Koran harian Radar Halmahera, senin, 13 Agustus 2012 memberitakan Eceng Gondok dengan topic “Eceng Gondok Ancam Warga 3 Kecamatan” di seputar Danau Galela. Hal ini sesuai dengan hasil observasi yang di lakukan oleh beberapa peneliti di seputar danau Galela (dan akan menjadi bahasan menarik dalam dunia akademik) bahwa masyarakat seputar Danau Galela mulai resah dengan pertumbuhan Eceng Gondok yang begitu cepat di atas permukaan air / Danau Galela, sehingga dapat mengakibatkan permukaaan air makin naik keatas permukaan tepi danau yang cenderung dapat menimbulkan tergenangnya perkampungan sekitar danau Galela atau bahkan Danau Galela yang disebut sebagai salah satu wilayah Pariwisata di Kabupaten Halmahera Utara akan hilang tak berbekas. Bahkan sebagian petinggi daerah ketika di Tanya kaitan dengan Eceng Gondok hanya menyampaikan bahwa mereka merasa prihatin dengan kondisi itu. Eceng Gondok pada sisi lain dapat mengubah kehidupan orang /masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika mereka mengetahui bagaimana memanfaatkan Eceng Gondok dengan baik, namun semuanya tergantung pada skill dan SDM yang di miliki  masyarakat sekitar Danau Galela, juga tergantung bagaimana di berdayakan oleh Pemerintah untuk kepentingan keberlangsungan Hidup Masyarakat. Dilain sisi Eceng Gondok dapat melahirkan bencana bagi masyarakat jika pertumbuhan dan penyebarannya tidak di manfaatkan oleh masyarakat apalagi pertumbuhan dan perkembangan tidak  pada tempatnya.
Pada pemberitaan Koran Radar Halmahera, Senin, 13 Agustus 2012 dengan topic “Eceng Gondok Ancam warga 3 Kecamatan” tersebut itu juga sempat di tanggapi oleh Kepala BPMD Halmahera Utara, seakan terlihat “Tiba saat tiba akal” dalam menanggapinya, padahal Eceng Gondok yang ada di danau Galela ini sudah lama di diskusikan baik oleh aktivis-aktivis Lingkungan Hidup maupun para pemerhati social khususnya di Galela. Disebut “tiba saat tiba akal” karena menanggapi permasalahan ketika ada laporan dari masyarakat atau media, jika tidak ada laporan maka hal ini pun tidak akan pernah digubris dan didiamkan oleh Pemerintah Daerah khususnya mereka yang terlibat secara langsung dalam kepentingan itu. Dan sampai pada hari inipun Dinas Pariwisata Halmahera Utara tidak pernah memberikan tanggapan terkait dengan Eceng Gondok  yang notabene merupakan wilayah Pariwisata di Halmahera Utara. Begitu juga pemerintah kecamatan Baik kecamatan Galela Selatan maupun Kecamatan Galela Barat dengan bersikap diam, dengan sikap diam ini juga menandakan ketidaktahuan dan ketidakmampuan dalam memberantas dan mengelola oleh Pemerintah kedua Kecamatan tersebut, entah kekurangcekatan atau kekurangcerdasan dalam memikirkan kondisi tersebut ataukah jalur koordinasi yang buntu sehingga menimbulkan kesumbatan dalam alur dan jalan yang memang seharusnya ada. Hal ini juga hampir mirip dengan Pemerintah Daerah yang terlalu banyak diam dan hanya sibuk dengan urusan politik yang entah berantah Maunya apa?Logikanya adalah ketidakmampuan mengurus daerah yang kecil ini saja menjadi batu loncatan untuk mengurus daerah yang lebih besar mungkin lebih miris akibatnya, karena mengurus daerah yang lebih besar dan komplek permasalahannya. Ataukah (Mungkin) butuh Revitalisasi dan Reorientasi khususnya institusi yang terkait dengan kepentingan tersebut diatas. Nah pertanyaannnya, apakah yang harus di lakukan oleh pemerintah terkait dengan Eceng Gondok yang menyerang wilayah danau Galela dan  Sumber Kehidupan itu? Satu  keyakinan yang muncul bahwa banyak cara dapat di lakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menangani Eceng Gondok itu, tapi kira-kira cara-cara apakah itu, asalkan caranya tidak seperti yang disampaikan oleh Muhammad Kacoa yang katanya dilakukan dengan cara sederhana (Dalam Rilis di Radar Halmahera, tanggal 13 Agustus 2012), yang kemudian pemberantasan dan pengelolaannya juga sederhana. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama (Lk 1 Thn) Eceng Gondok akan menutupi danau Galela, yang merupakan 90 % sumber kehidupan masyarakat itu, Danau Galela juga sebagai salah satu tempat dan tujuan wisata yang paling eksotis di Halmahera Utara. Kemanakah kita mengadu? Wallahu alam !
2.     Kopra.
Kopra dan kelapa di Kabupaten Halmahera Utara beserta Harganya telah menjadi fenomena social yang selalu di pertontonkan oleh penguasa dan telah menjadi penyakit Tahunan, tidak ada solusi yang dapat ditelorkan dari fenomena itu. Setiap aksi dan demonstrasi yang dilakukan oleh mereka yang peduli pada kesejahteraan masyarakat dianggap sebagai perlawanan yang tidak berkesudahan, padahal tuntutan itu rasional untuk ditanggapi oleh penguasa dan mereka yang berkepentingan dengan indicator “Menanggapi Kepentingan Public” yang seharusnya. Begitupun jawaban dari permasalahan yang di tanyakanpun setiap tahunnya hampir sama, cenderung tidak ada bedanya, sebagaimana jawaban-jawaban lain dalam diskusi-diskusi yang lain, baik itu dalam kapasitas sebagai pemangku kepentingan maupun dalam kapasitas yang lain, bahwa Harga Kopra Tergantung Pasar. "Ini terjadi karena harga kopra sepenuhnya tergantung pada harga yang berlaku di pasaran dunia," kata Kepala Seksi Bina Sarana dan Usaha Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Halmahera Utara Demas Kanalung, Rabu (Kompas, 18/1/2012) di Tobelo. (Sumber : Klik Bangsaha-O’Galela’No)
Keprihatinan inipun telah muncul dalam pemikiran kita tapi apalah daya kita bukanlah pemilik policy maker, karena kita hanya pengguna policy maker, dan kita juga hanya bisa berkoar atas dasar kesengsaraan dan kerumitan hidup yang telah lama membelenggu diri dan para petani. Begitu juga menjadi suatu hal yang ironis ketika kita semua bahkan Negarapun tahu bahwa Kabupaten Halmahera Utara adalah merupakan salah satu Kabupaten Kelapa Indonesia yang berada di Maluku Utara, namun rakyat pemilik kelapa sengsara oleh ulah pengusaha kelapa itu sendiri yang tidak bisa bahkan “tidak biasa” diatasi oleh Pemerintah, karna permainan harga menjadi indicator bagi pengusaha untuk mendongkrak investasi perusahaan yang lebih besar, tanpa memperhatikan betapa susahnya rakyat dalam melakukan proses pengolahan Kelapa menjadi Kopra. Dalam hati mereka berkata “Biarlah Anjing Menggonggong Namun Kafilah Tetap Berlalu”. Rhoma Irama dalam sebuah syairnya menyanyikan “TERLALU” adalah hal yang lumrah bagi pemerintah untuk membuat rakyat semakin terpuruk dalam kesejahteraan.
Kopra atau Kelapa  adalah komoditi utama Halmahera Utara, yang juga merupakan asset yang akan hidup selamanya, sampai hari inipun bagi petani kelapa bahwa kelapa dianggap sebagai dewa penyelamat hidup mereka, sekalipun mereka merasa stress dan frustasi terhadap harga yang selalu saja fluktuatif hingga hari ini, hanya pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu saja  harga kelapa/kopra ini bisa stabil bahkan melebihi batas stabilitas keuangan pengusaha dari keuangan kepemilikan kelapa itu sendiri, sementara disisi lain maraknya para petinggi/pejabat dan pengusaha yang berbondong-bondong untuk membeli dusun kelapa para petani yang dijual murah karena terlilit hutang dan biaya sekolah anaknya di Perguruan Tinggi. Adalah perbuatan yang tidak terpuji yang sengaja dipertontonkan oleh mereka yang dapat disebut sebagai Kapitalis Lokal berjubah kebaikan. Jika di hitung Prosentasi kepemilikan kelapa lebih dari separuh penduduk dari seluruh penduduk di Halmahera Utara memiliki dusun Kelapa, namun prosentasi ini hanyalah angka-angka yang tidak mendapat prioritas dalam pengambilan keputusan, sehingga angka-angka  prosentase ini hanya menjadi angka-angka yang tak bermakna dalam putusan mereka. Kekayaan dan kesejahteraan hanya milik para Tuan/ penguasa kata Iwan Fals dalam sebuah syairnya. Perlu diketahui bahwa  Hal ini sudah lumrah terjadi di kalangan masyarakat dan Kelumrahan ini menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat kecil yang sesungguhnya menginginkan sedikit kesejahteraan, namun tak ada yang di dapatkan dari keinginan itu, hanya satu istilah yang didapatkan yang sering mengalungi leher dan punggung  mereka yakni system  Ijon. System yang sengaja di desain oleh para Kapitalis pengusaha juga penguasa, untuk membuat ketergantungan petani pada pengusaha yang menjadi underbouw penguasa, agar petani tidak dapat berbuat banyak dan pengusaha menjadi aman pada posisinya, baik harga kelapa itu stabil maupun anjlok seperti saat sekarang ini,  dan hanya mereka yang peduli terhadap orang tua petani kelapa/kopra  mereka yang dapat memperjuangkannya.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Halut, di daerah itu ada 35.209 petani kopra dengan produksi kopra pada tahun 2011 mencapai 71.325 ton. Adapun luas areal tanaman kelapanya 50.093 hektar. Petani kopra dan areal tanaman kelapa itu tersebar di seluruh kecamatan berjumlah 17 kecamatan. (Kompas, Facebook Group Bangsaha-OgalelaNo) Merupakan angka yang sangat luar biasa jika prosentase dan jumlah Ton kelapa diatas di konversikan dalam rupiah, maka akan mendongkrak ekonomi rakyat untuk lebih sejahtera, namun lagi-lagi semuanya terkendala pada hal-hal dan penjelasan yang tidak masuk akal. Seharusnya pemerintah dan pengusaha ikut bertanggung jawab terhadap persoalan ini khususnya  Dinas Perindagkop dan Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Utara yang sengaja memainkan Games ini, yang belum saatnya Games di Game Over kan. Nah pertanyaan terakhir dari persoalan kopra ini kira-kira Siapa yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap semua ini? Apakah Penguasa (Pemerintah)  ataukah Pengusaha (Pemilik Modal / Kapitalis)?

3.     Keresahan social
Kabupaten Halmahera Utara merupakan Kabupaten yang memiliki segalanya, baik Sumber Daya Alam ( Tambang Emas, Nikel, Batu Kaca dan Hasil Tambang Lainnya, Kebun Kelapa dan perkebunan Lainnya) juga ikut meramaikan wilayah ini, begitupun Sumber Daya Manusianya sangat kompleks, namun lagi-lagi, masyarakatnya miskin di kampungnya sendiri.
Kurang lebih 10 tahun berpemerintahan berkabupaten di Halmahera Utara, namun tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam tataran kesejahteraan maupun keadilan Pembangunan lainnya, sehingga kecenderungan yang muncul di permukaan terkait dengan negeri ini adalah negeri yang gagal dalam mengelola pemerintahannya. Skil dan SDM yang seharusnya mengedepankan prinsip management modern “the Right Men on the Right Place or the Right Men on the Right Job” seakan tidak tersentuh dalam pemerintahan negeri ini. Pribumi semakin tersingkir ke Hutan dan pendatang merajalela untuk membabat kehidupan pribumi menjadi tak berdaya. Keresahan social dan kecemburuan social ibarat bom waktu yang tinggal menunggu waktu untuk meledakkan diri jika pengelolaan terhadap keresahan ini tidak dikelola dan di manage dengan baik, sekalipun diketahui bahwa Pemerintahan Halmahera Utara, masih dalam tataran berbenah, indicator-indikator untuk menuju ke Good Government dan Clean Governance serta Good Entrepeneaur Governmant belum terlihat secara sempurna. Pengangguran dimana-mana disudut-sudut negeri ini dan para pencari kerja hanya berharap jika pemerintah dapat kembali membuka peluang kerja lain atau memasukkan investor untuk dapat memastikan berjalannya Good Entrepreneaur Govermant di negeri ini (selain CPNS). Good Democration butuh Political Will yang terencana dan berhati lapang untuk melanjutkan pemerintahan yang anti korupsi, anti Nepotisme dan Anti Kolusi rupanya tak akan berwujud pula di negeri ini. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di terlantarkan begitu saja, begitu pula penyalahgunaan anggaran dan kewenangan lainnya di biarkan sehingga memunculakan persepsi yang dapat dikatakan cenderung di tutup-tutupi, baik oleh penegak hukum, maupun mereka yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengkultusan individu sudah merupakan barang ampuh yang sengaja di kelola dan jajahkan di jalan-jalan hanya “dalam rangka dan dalam rangka”. Adalah politik dalam rangka untuk membentuk pencitraan diri yang juga hanya dalam rangka. Logiskah negeri ini berdiri diatas dalam rangka dan dalam rangka? Dan kasus-kasus lain yang merajalela di negeri ini, adalah cermin untuk kita berbenah, layakkah pemerintahan ini dilanjutkan atau butuh revitalisasi dan reorientasi untuk berbenah, semuanya tergantung penguasa dan wakil-wakilnya…. Wallahu alam!
Demikianlahlah sedikit goresan tangan dari keresahan ini dituangkan diatas di hadapan public, bukan hanya dalam rangka, tapi sekedar mengingatkan antara satu dengan yang lain, dalam upaya kita berbenah menjadi yang lebih baik dalam Konsep Berkabupaten yang lebih Terhormat. Dalam bahasa Jawa Jogja disebut sebagai Ginong Pratidino, Change of the role of the Games atau Bersatu kita teguh dan bersatu kita berubah, Semoga….
Wallahu Alam….

Selasa, 12 Juni 2012

Desa : ORLA, ORBA dan Orde Reformasi

Di masa Orde Lama ada yang disebut dengan Desapraja apa itu Desapraja dan bagaimana dasar hukumnya?
Pada Tahun 1965 pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Desapraja dijelaskan dalam UU/19/1965 pasal 1 yang berbunyi : "Kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangga sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta benda sendiri ". Pengertian Desapraja ini merupakan defenisi yang telah dijabarkan dalam UU/22/1948. Dalam UU ini pemberian hak mengatur rumah tangga sendiri lebih tegas, sebagaimana di atur dalam pasal 34 UU/22/1948, secara organisatoris Desapraja didukung oleh alat kelengkapan yang diatur dalam pasal 7 sebagaimana berbunyi "alat-alat Desapraja terdiri atas kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Petugas Desapraja, Pamong Desaparaja, Panitera Desapraja dan Badan Pertimbangan Desapraja".
Adapun fungsi Desapraja dan tugas-tugas alat kelengkapan Desapraja tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja dan merupakan alat pemrintah pusat (Pasal 8)
  2.  Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari mayarakat Desapraja (Pasal 17)
  3. Pamong Desapraja adalah pembantu kepala Desapraja yang mengepalai suatu dukuh dalam lingkungan daerah Desaparaja (Pasal 25)
  4. Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin penyelenggaran tata usaha Desapraja dan tata usaha penyelenggaraan Desapraja dibawah pimpinan langsung kepala Desapraja (28)
  5. Petugas Desapraja adalah pembantu-pembantu kepala Desapraja dan pamong Desapraja dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja (pasal 30)
  6. Setiap Desapraja memiliki Badan Pertimbangan Desapraja (pasal 32). Dan Badan Pertimbangan Desapraja bertugas memberikan nasihat yang di minta atau yang tidak di minta oleh kepala Desapraja (pasal 33). 
Nah dalam kontek ini bahwa di zaman Orde Lama Desa disebut dengan Desapraja, dimana Desapraja juga merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan otonomi tersendiri disamping tugas dan kewenangan juga tersendiri yang cenderung lebih terperinci dan tertata lebih bagus. Sering runtuhnya Pemrintahan Orde lama yang di gantikan dengan Orde Baru Desapraja ini pun berubah dengan tidak memberlakukan UU/19/1965, yang dianggap UU ini tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman ketika itu. Melalui UU/6/1969 UU Desapraja dianggap tidak berlaku lagi, dan mulai saat itu terjadi kevakum dasar Hukum Desa dan cenderung tidak jelas arah terhadap kebijakan Desa. Dengan demikian untuk mengatasi kevakuman itu di terbitkanlah Surat Edaran Mendagri 5/1/1969, tepat pada tanggal 29 April 1969, tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa. Dalam edaran tersebut Desa di beri pengertian  sebagai berikut : "Desa dan daerah yang setingkat adalah kesatuan masyarakat Hukum (rechtsgemeenschap) baik genealogis maupun teritorial yang secara hierarkhis pemerintahannya langsung dibawah kecamatan".
Setelah 10 tahun berada dibawah kevakuman, Pemerintah menerbitkan UU/5/1979 tentang Pemerintah Desa, akan tetapi undang-undang ini cenderung menempatkan desa dan masyarakat desa berada di bawah Kecamatan yang selalu di kontrol oleh Kecamatan sehingga hak otonom dan hak demokrasi cenderung tidak terlaksana. Ada beberapa poin yang dapat di catat mengenai desa di zaman orde baru diantaranya adalah :
1. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terrendah langsung berada dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI.
2. Pemerintah desa terdiri atas Kepela Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.
3. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas unsur staf dan unsur pelaksana : Sekretariat desa sebagai staf dan kepala dusun sebagai unsur pelaksana
4. Sekretaris desa memimpin sekretariat desa yang terdiri atas kepala-kepala urusan
5. Desa bukanlah daerah otonom sebagaimana daerah otonom dalam pengertian daerah Daerah Tingkat I / Daerah Tingkat II
6. Desa bukanlah satu satuan wilayah. Desa hanya bagian dari wilayah Kecamatan
7. Desa adalah satuan Ketatanegaraan yang berkedudukan langsung dibawah Kecamatan
Berdasarkan penjelasan diatas telah jelas kedudukan desa di masa orde baru dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah. akan tetapi dasar hukum desa itu diumumkan setelah UU/5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah itu lebih dahulu di undangkan, sehingga pembentukan UU/5/1979 tentang Pemerintah desa  mengacu pada UU/5/1974 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian dikeluarkalah instruksi Mendagri  nomor 9 tahun 1980 sebagai nomenklatur pelaksanaan UU/5/1979 yang memerintahkan kepada Gubernur DATI I di seluruh Indonesia agar melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam UU/5/1979 yang berpedoman pada instruksi Mendagri tersebut. Yang selanjutnya ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan Perangkat Desa.
Sedangkan Desa di zaman Orde Reformasi mengacu pada UUD 1945 hasil amandemen Pasal 18 dan 18 A, dan 18B yang berbunyi :
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2. Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
Akan tetapi sebelum UUD 1945 diamandemen dikeluarkanlah UU/22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU/25/1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai acuan dalam mengatur Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Desa. Kemudian  UU/22/1999 diganti dengan UU/32/2004 sebagai penyempunaan terhadap UU tersebut serta UU/25/1999 diganti dengan UU/33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut Status Desa dikembalikan sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat yang berwewenang mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada dibawah Kabupaten. Dengan demikian Desa mempunyai Otonomi, yang berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri juga berhak membuat aturannya sendiri. Hanya saja Otonomi desa bukan Otonomi Formal tapi Otonomi Adat.
Jadi kehadiran UU ini telah mengembalikan Hak-Hak Otonomi Desa yang selama ini berada di bawah camat, sehingga Desa bisa dengan leluasa mengatur dirinya sendiri dalam urusan asal-usul dan adat istiadat dan sterunsnya...

(Sumber : Dr. Hanif Nucholis, M.Si. dalam "Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa" 2011.Penerbit Erlangga)

Minggu, 10 Juni 2012

Konsep Desa

Desa dalam konsep keumuman adalah kesatuan masyarakat hukum yang mendiami dan menghuni suatu wilayah yang masyarakatnya saling kenal-mengenal karena adanya hubungan seketurunan (geneologis) ataupun rasa kewilayahan yang membentuk suatu masyarakat yang khas.
Dalam tataran ini kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat desa sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau, artinya konsep desa ini telah ada sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, sekalipun saat itu Indonesia yang berbentuk negarapun belum ada, bahkan jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar itu ada, seperti Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Demak dan Mataram Islam, desa dan masyarakat desa sudah ada bahkan eksis di negeri ini dengan berbagai struktur kelembagaan yang teratur, tertib dan ajeg.
 Setelah penjajahan Belanda dan negara-negara koloni hengkang dari negeri ini dan Indonesia mencapai Kemerdekaan, para pendiri negara menghendaki agar dalam penyusunan struktur pemerintahan pada era Indonesia merdeka, desa harus menjadi dasar kelembagaannya.
Saat kemerdekaan The Founding Fathers mengusulkan tentang desa tersebut berangkat dari hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli khususnya bangsa Belanda, menemukan bahwa desa dan masyarakat desa telah ada sejak jaman dahulu kala dan telah memiliki kelembagaan yang lengkap dan teratur, sehingga saat itu pemerintah Hindia Belanda kemudian mengesahkan desa dalam satu yuridisnya agar desa diakui sebagai satu kesatuan masyarakat hukum pribumi yang dapat menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Desa juga merupakan satuan pemerintahan terendah dalam status pemerintahan negara yang diberi hak otonomi adat dengan batas-batas tertentu sebagai kesatan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan asal usulnya.
Data terakhir jumlah desa di Indonesia sebanyak 65.189 desa (Ditjen Administrasi Kependudukan Depdagri,2007) berdasarkan data tersebut maka kedudukan desa sangat penting dan strategis sebagai alat untuk tujuan pembangunan nasional atau sebagai lembaga yang memperkuat stuktur pemerintahan Indonesia. Desa disebut sebagai alat tujuan pembanguan nasional karena desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil yang hendak disejahterakan, sedangkan sebagai lembaga pemerintahan, desa sebagai lembaga yang memperkuat lembaga pemerintahan nasional karena desa merupakan kesatuan masyarakat hukum adat desa dan telah terbukti memiliki daya tahan yang luar biasa sepanjang keberadaannya. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat desa telah memiliki struktur kelembagaan yang mapan yang di hormati dan dilestarikan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
Berdasarkan sejarah pertumbuhan desa di Indonesia ada empat tipe desa yang sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang diantaranya:
1. Desa adat (self-governing community). yaitu desa adat yang merupakan bentuk asli dan tertua di Indonesia. Konsep "Otonomi Asli" merujuk pada pengertian desa adat ini. Desa adat mengurus dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan Negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh Negara. Contoh desa adat Pakraman di Bali.
2. Desa Adminstrasi (local state government) desa yang merupakan satuan wilayah administrasi, yaitu satuan pemerintahan terendah untuk memberikan pelayanan adminitrasi dari pemerintah pusat. Desa administrasi dibentuk oleh negara dan merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjalankan tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh negara. Desa administrasi secara substansial tidak mempunyai hak otonom dan cenderung tidak demokratis.
3. Desa otonom (local-self government), yaitu desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom mempunyai kewenangan yang jelas karena diatur dalam undang-undang pembentukannya. Oleh karena itu, desa otonom mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
4. Desa campuran (adat semiotonom), yaitu desa yang mempunyai kewenangan campuran antara otonomi asli dan semi otonomi formal. Di sebut campuran karena otonomi aslinya diakui oleh undang-undang dan juga diberi penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota, sedangkan disebut semiotonomi karena model penyerahan urusan pemerintahan dari daerah otonom kepada satuan pemerintahan dibawahnya ini tidak dikenal dalam teori desentralisasi.
Demikianlah konsep desa yang dapat dijadikan referensi dalam mengenal desa secara dekat yang keberadaannya sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau.

(Sumber : Hanif Nurcholis dalam pertumbuhan dan penyelenggaran pemerintahan desa 2011)

Pengertian dan Konsep Kota

Jika mencermati dalam berbagai literatur mengenai pengertian dan konsep kota, maka kita akan menemukan berbagai macam pengertian dan konsep yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan pengertian dan konsep tersebut. Pada suatu ketika muncul satu pertanyaan : Apakah yang dimaksudkan dengan kota ? Maka dari pertanyaan ini akan mucul juga berbagai jawaban dan persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian dan konsep kota dan wilayah itu sendiri, sehingga memunculkan berbagai khazanah pemahaman terkait dengan itu, yang sebenarnya khazanah pemahaman ini saling memperkuat pengertian dan konsep yang dimaksud tersebut.
Dalam hal ini acuan pengertian dan konsep kota masih  dalam satu pengertian baku yang biasa difahami secara keumuman yang di kelompokkan dalam dua pengertian antara lain : bahwa Kota itu adalah
Pertama : dalam pengertian Umum bahwa Kota adalah suatu daerah yang terbangun yang di dominasi oleh jenis penggunaan tanah nonpertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan ruang yang cukup tinggi dibanding dengan desa yang penggunaan tanah lebih rendah dibandingkan dengan di kota yang intensitasnya lebih tinggi, baik dilihat dari sisi modal, jumlah keterlibatan orang, nilai tambah penggunaan ruang yang dihasilkan juga lebih besar dan keterkaitan dengan penggunaan tanah yang begitu erat, oleh karena penggunaan tanah yang intensitasnya cenderung lebih tinggi, maka kota senantiasa menjadi pusat aktivitas bagi daerah sekitarnya.
Kedua : Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintahan daerah yang mayoritas wilayahnya merupakan daerah perkotaan, dengan batas dan wilayah administarsi yang jelas dan terukur. Kota secara administratif  tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (Urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (Rural). Daerah Kota dikelola oleh Pemerintah Kota yang sifatnya otonomi dan kedudukannya sejajar dengan Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kota di Kepalai oleh Wali Kota sedangkan Pemerintah Kabupaten di Kepalai oleh Bupati. Perlu juga di Perhatikan bahwa tidak semua kota dalam arti fisik merupakan suatu unit pemerintahan kota yang bersifat otonom. Misalnya, Kota-kota ibukota kabupaten atau kecamatan yang tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintah kabupaten, Sehingga disini ada kerancuan dalam penggunaan Kata Kota. Misalnya, kalau kita menyebut suatu Kota Kabupaten atau Kota kecamatan (Misalnya Kota Tobelo, Kota Weda, Kota Buli, Kota Labuha, atau kota Kabupaten lainnya, dan atau Kota Dokulamo, Kota Soakonora, Kota Salimuli, Kota Gura, Kota Gorua dan kota Kecamatan Lainnya) adalah bukan merupakan kota dalam pengertian adminstrasi pemerintahan, sebab kota-kota yang disebutkan itu tidak mempunyai struktur tersendiri sebagaimana kota yang sebenarnya seperti Kota Ternate, Kota Tidore, Kota Manado dan kota-kota lainnya yang sifatnya otonom.
Nah, jika demikian,  bagaimana cara menyebutkan kota dalam pengertian tersebut?
Pengertian Kota dalam batasan administrasi banyak digunakan dalam managemen Kota, karena dalam melaksanakan menejemen lebih sering dibatasi dalam lingkup wilayah administrsi. 
Sedangkan penyebutan seperti tersebut diatas (Kota Kabupaten dan Kota kecamatan) seringkali di pergunakan oleh masyarakat yang dalam kegiatan kesehariannya bebas melakukan kegiatan lintas batas sehingga tidak lagi memperdulikan batasan administrasi pemerintahan itu sendiri. Jadi bagaimana penyebutan kota-kota yang tersent diatas? Penyebutannya adalah tetap penyebutan sebagaimana biasa, Tobelo tetap disebut sebagai Tobelo, Dokulamo tetap disebut Dokulamo dan seterusnya karena ia hanya menjadi Ibukota Kabupaten dan Ibukota Kecamatan sehingga tidak tepat jika penyebutannya di tambah kata Kota.
(Sumber : Ir. Mulyono Sadyohutomo, MRCP. 
Managemen Kota dan Wilayah, realita dan tantangan 2008)