Jumat, 21 September 2012

La Nuda Vita


La Nuda Vita
Ketika berada di kampung halaman (Galela, Halmahera Utara), sontak terlihat kondisi lingkungan yang begitu amburadul, sehingga mematahkan semangat pulang kampong yang pada awalnya dalam pikirku, bahwa kampong halamanku pasti telah berubah sebagaimana bayanganku ketika berada di rantau. Ternyata alur pikirku meleset 180 derajat. Dari kenyataan itu dalam imajinasiku bahwa ternyata kita hanya berada pada tataran La Nuda Vita, “kita hanya berada pada kehidupan yang hidup belaka, karena kita tidak sanggup mengembangkan hidup yang lebih Survival, artinya kehidupan kita di Galela hanya berada pada tataran hidup saja tanpa ada sebuah keniscayaan survival dengan menghasilkan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi dan ekskresi (meminjam Istilah F Budi Hardiman, dalam tulisan Kompas, 16 Agustus 2012) (Alias Jalan di Tempat) dari keniscayaan tersebut dapat di buktikan dengan berbagai macam contoh kasus di Galela diantaranya :  adanya jalan-jalan air yang dibuat tidak pernah selesai, talud dan parit (Got) yang di buat hanya setengah hati, jembatan yang usianya tidak memungkinkan lagi untuk diseberangi dan kondisi lingkungan lainnya yang kumuh di pertontonkan dan masih banyak lagi, sehingga memunculkan pertanyaan dalam pikiran kita, apakah semua yang terjadi ini penyebab dari kesalahan siapa? Dan kesalehan siapa yang akan mempertanyakan semua ini? Keadaan ini membuat prihatin dengan kondisi lingkungan dan social yang cenderung meresahkan masyarakat, serta banyak hal yang tidak pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah terkait dengan Indikator “Menanggapi kepentingan Masyarakat” (meminjam istilah dari Rustam Ibrahim dalam cetakan bukunya “Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil, suatu catatan INDEKS Masyarakat Sipil Indonesia 2006, yang di sponsori oleh YAPPIKA, IDSS ACCESS, Australia Indonesia Partnership, Februari 2007) dan adanya  kecenderungan Pemerintah Daerah telah melakukan pembiaran terhadap lingkungan dan Alam serta kepentingan rakyat secara berkesinambungan (Sustainabilities of the People Interest) sehingga apa yang menjadi prioritas kebijakan tidak pernah dilakukan dan dilaksanakan, padahal ini merupakan kewajiban mutlak yang mestinya di tunaikan, kemudian memunculkan dalam alam pikiran kita pula untuk apa di bentuk Dinas-Dinas yang memang bekerja dan mengurus Lingkungan dan masyarakatnya itu? Lalu Kemanakah sikap Para Penguasa dan Wakil-wakil Rakyat yang kerjanya untuk mengontrol semua itu? sebut saja Eceng Gondok, Kopra dan Keresahan Social lainnya yang dianggap kecil itupun cenderung raib dari dialektika cara berpikir mereka adalah La Nuda Vita.




1.     Eceng Gondok
Kasus Eceng Gondok telah ramai di bicarakan, baik dalam diskusi-diskusi baik secara formal, seminar-seminar maupun di jejaring social (Tweeter, Facebook pribadi maupun dalam Group-group diskusi di Faacebook baik  BANGSAHA–O’GALELA’NO, maupun Galela Community) serta dalam diskusi—diskusi formal, bahkan di muat dalam berita koran Mingguan, maupun Harian lainnya baik keuntungan maupun kerugian yang ditimbulkannya. Kaitan dengan tema ini : Pada Koran harian Radar Halmahera, senin, 13 Agustus 2012 memberitakan Eceng Gondok dengan topic “Eceng Gondok Ancam Warga 3 Kecamatan” di seputar Danau Galela. Hal ini sesuai dengan hasil observasi yang di lakukan oleh beberapa peneliti di seputar danau Galela (dan akan menjadi bahasan menarik dalam dunia akademik) bahwa masyarakat seputar Danau Galela mulai resah dengan pertumbuhan Eceng Gondok yang begitu cepat di atas permukaan air / Danau Galela, sehingga dapat mengakibatkan permukaaan air makin naik keatas permukaan tepi danau yang cenderung dapat menimbulkan tergenangnya perkampungan sekitar danau Galela atau bahkan Danau Galela yang disebut sebagai salah satu wilayah Pariwisata di Kabupaten Halmahera Utara akan hilang tak berbekas. Bahkan sebagian petinggi daerah ketika di Tanya kaitan dengan Eceng Gondok hanya menyampaikan bahwa mereka merasa prihatin dengan kondisi itu. Eceng Gondok pada sisi lain dapat mengubah kehidupan orang /masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika mereka mengetahui bagaimana memanfaatkan Eceng Gondok dengan baik, namun semuanya tergantung pada skill dan SDM yang di miliki  masyarakat sekitar Danau Galela, juga tergantung bagaimana di berdayakan oleh Pemerintah untuk kepentingan keberlangsungan Hidup Masyarakat. Dilain sisi Eceng Gondok dapat melahirkan bencana bagi masyarakat jika pertumbuhan dan penyebarannya tidak di manfaatkan oleh masyarakat apalagi pertumbuhan dan perkembangan tidak  pada tempatnya.
Pada pemberitaan Koran Radar Halmahera, Senin, 13 Agustus 2012 dengan topic “Eceng Gondok Ancam warga 3 Kecamatan” tersebut itu juga sempat di tanggapi oleh Kepala BPMD Halmahera Utara, seakan terlihat “Tiba saat tiba akal” dalam menanggapinya, padahal Eceng Gondok yang ada di danau Galela ini sudah lama di diskusikan baik oleh aktivis-aktivis Lingkungan Hidup maupun para pemerhati social khususnya di Galela. Disebut “tiba saat tiba akal” karena menanggapi permasalahan ketika ada laporan dari masyarakat atau media, jika tidak ada laporan maka hal ini pun tidak akan pernah digubris dan didiamkan oleh Pemerintah Daerah khususnya mereka yang terlibat secara langsung dalam kepentingan itu. Dan sampai pada hari inipun Dinas Pariwisata Halmahera Utara tidak pernah memberikan tanggapan terkait dengan Eceng Gondok  yang notabene merupakan wilayah Pariwisata di Halmahera Utara. Begitu juga pemerintah kecamatan Baik kecamatan Galela Selatan maupun Kecamatan Galela Barat dengan bersikap diam, dengan sikap diam ini juga menandakan ketidaktahuan dan ketidakmampuan dalam memberantas dan mengelola oleh Pemerintah kedua Kecamatan tersebut, entah kekurangcekatan atau kekurangcerdasan dalam memikirkan kondisi tersebut ataukah jalur koordinasi yang buntu sehingga menimbulkan kesumbatan dalam alur dan jalan yang memang seharusnya ada. Hal ini juga hampir mirip dengan Pemerintah Daerah yang terlalu banyak diam dan hanya sibuk dengan urusan politik yang entah berantah Maunya apa?Logikanya adalah ketidakmampuan mengurus daerah yang kecil ini saja menjadi batu loncatan untuk mengurus daerah yang lebih besar mungkin lebih miris akibatnya, karena mengurus daerah yang lebih besar dan komplek permasalahannya. Ataukah (Mungkin) butuh Revitalisasi dan Reorientasi khususnya institusi yang terkait dengan kepentingan tersebut diatas. Nah pertanyaannnya, apakah yang harus di lakukan oleh pemerintah terkait dengan Eceng Gondok yang menyerang wilayah danau Galela dan  Sumber Kehidupan itu? Satu  keyakinan yang muncul bahwa banyak cara dapat di lakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menangani Eceng Gondok itu, tapi kira-kira cara-cara apakah itu, asalkan caranya tidak seperti yang disampaikan oleh Muhammad Kacoa yang katanya dilakukan dengan cara sederhana (Dalam Rilis di Radar Halmahera, tanggal 13 Agustus 2012), yang kemudian pemberantasan dan pengelolaannya juga sederhana. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama (Lk 1 Thn) Eceng Gondok akan menutupi danau Galela, yang merupakan 90 % sumber kehidupan masyarakat itu, Danau Galela juga sebagai salah satu tempat dan tujuan wisata yang paling eksotis di Halmahera Utara. Kemanakah kita mengadu? Wallahu alam !
2.     Kopra.
Kopra dan kelapa di Kabupaten Halmahera Utara beserta Harganya telah menjadi fenomena social yang selalu di pertontonkan oleh penguasa dan telah menjadi penyakit Tahunan, tidak ada solusi yang dapat ditelorkan dari fenomena itu. Setiap aksi dan demonstrasi yang dilakukan oleh mereka yang peduli pada kesejahteraan masyarakat dianggap sebagai perlawanan yang tidak berkesudahan, padahal tuntutan itu rasional untuk ditanggapi oleh penguasa dan mereka yang berkepentingan dengan indicator “Menanggapi Kepentingan Public” yang seharusnya. Begitupun jawaban dari permasalahan yang di tanyakanpun setiap tahunnya hampir sama, cenderung tidak ada bedanya, sebagaimana jawaban-jawaban lain dalam diskusi-diskusi yang lain, baik itu dalam kapasitas sebagai pemangku kepentingan maupun dalam kapasitas yang lain, bahwa Harga Kopra Tergantung Pasar. "Ini terjadi karena harga kopra sepenuhnya tergantung pada harga yang berlaku di pasaran dunia," kata Kepala Seksi Bina Sarana dan Usaha Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Halmahera Utara Demas Kanalung, Rabu (Kompas, 18/1/2012) di Tobelo. (Sumber : Klik Bangsaha-O’Galela’No)
Keprihatinan inipun telah muncul dalam pemikiran kita tapi apalah daya kita bukanlah pemilik policy maker, karena kita hanya pengguna policy maker, dan kita juga hanya bisa berkoar atas dasar kesengsaraan dan kerumitan hidup yang telah lama membelenggu diri dan para petani. Begitu juga menjadi suatu hal yang ironis ketika kita semua bahkan Negarapun tahu bahwa Kabupaten Halmahera Utara adalah merupakan salah satu Kabupaten Kelapa Indonesia yang berada di Maluku Utara, namun rakyat pemilik kelapa sengsara oleh ulah pengusaha kelapa itu sendiri yang tidak bisa bahkan “tidak biasa” diatasi oleh Pemerintah, karna permainan harga menjadi indicator bagi pengusaha untuk mendongkrak investasi perusahaan yang lebih besar, tanpa memperhatikan betapa susahnya rakyat dalam melakukan proses pengolahan Kelapa menjadi Kopra. Dalam hati mereka berkata “Biarlah Anjing Menggonggong Namun Kafilah Tetap Berlalu”. Rhoma Irama dalam sebuah syairnya menyanyikan “TERLALU” adalah hal yang lumrah bagi pemerintah untuk membuat rakyat semakin terpuruk dalam kesejahteraan.
Kopra atau Kelapa  adalah komoditi utama Halmahera Utara, yang juga merupakan asset yang akan hidup selamanya, sampai hari inipun bagi petani kelapa bahwa kelapa dianggap sebagai dewa penyelamat hidup mereka, sekalipun mereka merasa stress dan frustasi terhadap harga yang selalu saja fluktuatif hingga hari ini, hanya pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu saja  harga kelapa/kopra ini bisa stabil bahkan melebihi batas stabilitas keuangan pengusaha dari keuangan kepemilikan kelapa itu sendiri, sementara disisi lain maraknya para petinggi/pejabat dan pengusaha yang berbondong-bondong untuk membeli dusun kelapa para petani yang dijual murah karena terlilit hutang dan biaya sekolah anaknya di Perguruan Tinggi. Adalah perbuatan yang tidak terpuji yang sengaja dipertontonkan oleh mereka yang dapat disebut sebagai Kapitalis Lokal berjubah kebaikan. Jika di hitung Prosentasi kepemilikan kelapa lebih dari separuh penduduk dari seluruh penduduk di Halmahera Utara memiliki dusun Kelapa, namun prosentasi ini hanyalah angka-angka yang tidak mendapat prioritas dalam pengambilan keputusan, sehingga angka-angka  prosentase ini hanya menjadi angka-angka yang tak bermakna dalam putusan mereka. Kekayaan dan kesejahteraan hanya milik para Tuan/ penguasa kata Iwan Fals dalam sebuah syairnya. Perlu diketahui bahwa  Hal ini sudah lumrah terjadi di kalangan masyarakat dan Kelumrahan ini menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat kecil yang sesungguhnya menginginkan sedikit kesejahteraan, namun tak ada yang di dapatkan dari keinginan itu, hanya satu istilah yang didapatkan yang sering mengalungi leher dan punggung  mereka yakni system  Ijon. System yang sengaja di desain oleh para Kapitalis pengusaha juga penguasa, untuk membuat ketergantungan petani pada pengusaha yang menjadi underbouw penguasa, agar petani tidak dapat berbuat banyak dan pengusaha menjadi aman pada posisinya, baik harga kelapa itu stabil maupun anjlok seperti saat sekarang ini,  dan hanya mereka yang peduli terhadap orang tua petani kelapa/kopra  mereka yang dapat memperjuangkannya.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Halut, di daerah itu ada 35.209 petani kopra dengan produksi kopra pada tahun 2011 mencapai 71.325 ton. Adapun luas areal tanaman kelapanya 50.093 hektar. Petani kopra dan areal tanaman kelapa itu tersebar di seluruh kecamatan berjumlah 17 kecamatan. (Kompas, Facebook Group Bangsaha-OgalelaNo) Merupakan angka yang sangat luar biasa jika prosentase dan jumlah Ton kelapa diatas di konversikan dalam rupiah, maka akan mendongkrak ekonomi rakyat untuk lebih sejahtera, namun lagi-lagi semuanya terkendala pada hal-hal dan penjelasan yang tidak masuk akal. Seharusnya pemerintah dan pengusaha ikut bertanggung jawab terhadap persoalan ini khususnya  Dinas Perindagkop dan Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Utara yang sengaja memainkan Games ini, yang belum saatnya Games di Game Over kan. Nah pertanyaan terakhir dari persoalan kopra ini kira-kira Siapa yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap semua ini? Apakah Penguasa (Pemerintah)  ataukah Pengusaha (Pemilik Modal / Kapitalis)?

3.     Keresahan social
Kabupaten Halmahera Utara merupakan Kabupaten yang memiliki segalanya, baik Sumber Daya Alam ( Tambang Emas, Nikel, Batu Kaca dan Hasil Tambang Lainnya, Kebun Kelapa dan perkebunan Lainnya) juga ikut meramaikan wilayah ini, begitupun Sumber Daya Manusianya sangat kompleks, namun lagi-lagi, masyarakatnya miskin di kampungnya sendiri.
Kurang lebih 10 tahun berpemerintahan berkabupaten di Halmahera Utara, namun tidak ada perubahan yang signifikan baik dalam tataran kesejahteraan maupun keadilan Pembangunan lainnya, sehingga kecenderungan yang muncul di permukaan terkait dengan negeri ini adalah negeri yang gagal dalam mengelola pemerintahannya. Skil dan SDM yang seharusnya mengedepankan prinsip management modern “the Right Men on the Right Place or the Right Men on the Right Job” seakan tidak tersentuh dalam pemerintahan negeri ini. Pribumi semakin tersingkir ke Hutan dan pendatang merajalela untuk membabat kehidupan pribumi menjadi tak berdaya. Keresahan social dan kecemburuan social ibarat bom waktu yang tinggal menunggu waktu untuk meledakkan diri jika pengelolaan terhadap keresahan ini tidak dikelola dan di manage dengan baik, sekalipun diketahui bahwa Pemerintahan Halmahera Utara, masih dalam tataran berbenah, indicator-indikator untuk menuju ke Good Government dan Clean Governance serta Good Entrepeneaur Governmant belum terlihat secara sempurna. Pengangguran dimana-mana disudut-sudut negeri ini dan para pencari kerja hanya berharap jika pemerintah dapat kembali membuka peluang kerja lain atau memasukkan investor untuk dapat memastikan berjalannya Good Entrepreneaur Govermant di negeri ini (selain CPNS). Good Democration butuh Political Will yang terencana dan berhati lapang untuk melanjutkan pemerintahan yang anti korupsi, anti Nepotisme dan Anti Kolusi rupanya tak akan berwujud pula di negeri ini. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di terlantarkan begitu saja, begitu pula penyalahgunaan anggaran dan kewenangan lainnya di biarkan sehingga memunculakan persepsi yang dapat dikatakan cenderung di tutup-tutupi, baik oleh penegak hukum, maupun mereka yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengkultusan individu sudah merupakan barang ampuh yang sengaja di kelola dan jajahkan di jalan-jalan hanya “dalam rangka dan dalam rangka”. Adalah politik dalam rangka untuk membentuk pencitraan diri yang juga hanya dalam rangka. Logiskah negeri ini berdiri diatas dalam rangka dan dalam rangka? Dan kasus-kasus lain yang merajalela di negeri ini, adalah cermin untuk kita berbenah, layakkah pemerintahan ini dilanjutkan atau butuh revitalisasi dan reorientasi untuk berbenah, semuanya tergantung penguasa dan wakil-wakilnya…. Wallahu alam!
Demikianlahlah sedikit goresan tangan dari keresahan ini dituangkan diatas di hadapan public, bukan hanya dalam rangka, tapi sekedar mengingatkan antara satu dengan yang lain, dalam upaya kita berbenah menjadi yang lebih baik dalam Konsep Berkabupaten yang lebih Terhormat. Dalam bahasa Jawa Jogja disebut sebagai Ginong Pratidino, Change of the role of the Games atau Bersatu kita teguh dan bersatu kita berubah, Semoga….
Wallahu Alam….