La
Nuda Vita
Ketika
berada di kampung halaman (Galela, Halmahera Utara), sontak terlihat kondisi
lingkungan yang begitu amburadul, sehingga mematahkan semangat pulang kampong
yang pada awalnya dalam pikirku, bahwa kampong halamanku pasti telah berubah
sebagaimana bayanganku ketika berada di rantau. Ternyata alur pikirku meleset
180 derajat. Dari kenyataan itu dalam imajinasiku bahwa ternyata kita hanya
berada pada tataran La Nuda Vita, “kita
hanya berada pada kehidupan yang hidup belaka, karena kita tidak sanggup
mengembangkan hidup yang lebih Survival,
artinya kehidupan kita di Galela hanya berada pada tataran hidup saja tanpa ada
sebuah keniscayaan survival dengan menghasilkan produksi, konsumsi, kopulasi, agresi dan ekskresi (meminjam Istilah
F Budi Hardiman, dalam tulisan Kompas, 16 Agustus 2012) (Alias Jalan di Tempat)
dari keniscayaan tersebut dapat di buktikan dengan berbagai macam contoh kasus
di Galela diantaranya : adanya jalan-jalan
air yang dibuat tidak pernah selesai, talud dan parit (Got) yang di buat hanya
setengah hati, jembatan yang usianya tidak memungkinkan lagi untuk diseberangi
dan kondisi lingkungan lainnya yang kumuh di pertontonkan dan masih banyak
lagi, sehingga memunculkan pertanyaan dalam pikiran kita, apakah semua yang
terjadi ini penyebab dari kesalahan siapa? Dan kesalehan siapa yang akan
mempertanyakan semua ini? Keadaan ini membuat prihatin dengan kondisi
lingkungan dan social yang cenderung meresahkan masyarakat, serta banyak hal yang
tidak pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah terkait dengan Indikator “Menanggapi
kepentingan Masyarakat” (meminjam istilah dari Rustam Ibrahim dalam cetakan
bukunya “Jalan (Masih) Panjang Menuju Masyarakat Sipil, suatu catatan INDEKS
Masyarakat Sipil Indonesia 2006, yang di sponsori oleh YAPPIKA, IDSS ACCESS,
Australia Indonesia Partnership, Februari 2007) dan adanya kecenderungan Pemerintah Daerah telah melakukan
pembiaran terhadap lingkungan dan Alam serta kepentingan rakyat secara
berkesinambungan (Sustainabilities of the People Interest) sehingga apa yang
menjadi prioritas kebijakan tidak pernah dilakukan dan dilaksanakan, padahal
ini merupakan kewajiban mutlak yang mestinya di tunaikan, kemudian memunculkan
dalam alam pikiran kita pula untuk apa di bentuk Dinas-Dinas yang memang
bekerja dan mengurus Lingkungan dan masyarakatnya itu? Lalu Kemanakah sikap
Para Penguasa dan Wakil-wakil Rakyat yang kerjanya untuk mengontrol semua itu? sebut
saja Eceng Gondok, Kopra dan Keresahan Social lainnya yang dianggap kecil
itupun cenderung raib dari dialektika cara berpikir mereka adalah La Nuda Vita.
1. Eceng Gondok
Kasus
Eceng Gondok telah ramai di bicarakan, baik dalam diskusi-diskusi baik secara
formal, seminar-seminar maupun di jejaring social (Tweeter, Facebook pribadi
maupun dalam Group-group diskusi di Faacebook baik BANGSAHA–O’GALELA’NO, maupun Galela
Community) serta dalam diskusi—diskusi formal, bahkan di muat dalam berita koran
Mingguan, maupun Harian lainnya baik keuntungan maupun kerugian yang
ditimbulkannya. Kaitan dengan tema ini : Pada Koran harian Radar Halmahera,
senin, 13 Agustus 2012 memberitakan Eceng Gondok dengan topic “Eceng Gondok
Ancam Warga 3 Kecamatan” di seputar Danau Galela. Hal ini sesuai dengan hasil
observasi yang di lakukan oleh beberapa peneliti di seputar danau Galela (dan
akan menjadi bahasan menarik dalam dunia akademik) bahwa masyarakat seputar
Danau Galela mulai resah dengan pertumbuhan Eceng Gondok yang begitu cepat di
atas permukaan air / Danau Galela, sehingga dapat mengakibatkan permukaaan air
makin naik keatas permukaan tepi danau yang cenderung dapat menimbulkan
tergenangnya perkampungan sekitar danau Galela atau bahkan Danau Galela yang
disebut sebagai salah satu wilayah Pariwisata di Kabupaten Halmahera Utara akan
hilang tak berbekas. Bahkan sebagian petinggi daerah ketika di Tanya kaitan
dengan Eceng Gondok hanya menyampaikan bahwa mereka merasa prihatin dengan
kondisi itu. Eceng Gondok pada sisi lain dapat mengubah kehidupan orang
/masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika mereka mengetahui
bagaimana memanfaatkan Eceng Gondok dengan baik, namun semuanya tergantung pada
skill dan SDM yang di miliki masyarakat
sekitar Danau Galela, juga tergantung bagaimana di berdayakan oleh Pemerintah untuk
kepentingan keberlangsungan Hidup Masyarakat. Dilain sisi Eceng Gondok dapat
melahirkan bencana bagi masyarakat jika pertumbuhan dan penyebarannya tidak di
manfaatkan oleh masyarakat apalagi pertumbuhan dan perkembangan tidak pada tempatnya.
Pada
pemberitaan Koran Radar Halmahera, Senin, 13 Agustus 2012 dengan topic “Eceng
Gondok Ancam warga 3 Kecamatan” tersebut itu juga sempat di tanggapi oleh
Kepala BPMD Halmahera Utara, seakan terlihat “Tiba saat tiba akal” dalam
menanggapinya, padahal Eceng Gondok yang ada di danau Galela ini sudah lama di
diskusikan baik oleh aktivis-aktivis Lingkungan Hidup maupun para pemerhati
social khususnya di Galela. Disebut “tiba saat tiba akal” karena menanggapi
permasalahan ketika ada laporan dari masyarakat atau media, jika tidak ada
laporan maka hal ini pun tidak akan pernah digubris dan didiamkan oleh Pemerintah
Daerah khususnya mereka yang terlibat secara langsung dalam kepentingan itu. Dan
sampai pada hari inipun Dinas Pariwisata Halmahera Utara tidak pernah
memberikan tanggapan terkait dengan Eceng Gondok yang notabene merupakan wilayah Pariwisata di
Halmahera Utara. Begitu juga pemerintah kecamatan Baik kecamatan Galela Selatan
maupun Kecamatan Galela Barat dengan bersikap diam, dengan sikap diam ini juga
menandakan ketidaktahuan dan ketidakmampuan dalam memberantas dan mengelola
oleh Pemerintah kedua Kecamatan tersebut, entah kekurangcekatan atau kekurangcerdasan
dalam memikirkan kondisi tersebut ataukah jalur koordinasi yang buntu sehingga
menimbulkan kesumbatan dalam alur dan jalan yang memang seharusnya ada. Hal ini
juga hampir mirip dengan Pemerintah Daerah yang terlalu banyak diam dan hanya
sibuk dengan urusan politik yang entah berantah Maunya apa?Logikanya adalah
ketidakmampuan mengurus daerah yang kecil ini saja menjadi batu loncatan untuk
mengurus daerah yang lebih besar mungkin lebih miris akibatnya, karena mengurus
daerah yang lebih besar dan komplek permasalahannya. Ataukah (Mungkin) butuh
Revitalisasi dan Reorientasi khususnya institusi yang terkait dengan
kepentingan tersebut diatas. Nah pertanyaannnya, apakah yang harus di lakukan
oleh pemerintah terkait dengan Eceng Gondok yang menyerang wilayah danau Galela
dan Sumber Kehidupan itu? Satu keyakinan yang muncul bahwa banyak cara dapat
di lakukan oleh Pemerintah Daerah dalam menangani Eceng Gondok itu, tapi
kira-kira cara-cara apakah itu, asalkan caranya tidak seperti yang disampaikan
oleh Muhammad Kacoa yang katanya dilakukan dengan cara sederhana (Dalam Rilis
di Radar Halmahera, tanggal 13 Agustus 2012), yang kemudian pemberantasan dan
pengelolaannya juga sederhana. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama (Lk 1
Thn) Eceng Gondok akan menutupi danau Galela, yang merupakan 90 % sumber
kehidupan masyarakat itu, Danau Galela juga sebagai salah satu tempat dan
tujuan wisata yang paling eksotis di Halmahera Utara. Kemanakah kita mengadu? Wallahu
alam !
2.
Kopra.
Kopra dan kelapa
di Kabupaten Halmahera Utara beserta Harganya telah menjadi fenomena social yang
selalu di pertontonkan oleh penguasa dan telah menjadi penyakit Tahunan, tidak
ada solusi yang dapat ditelorkan dari fenomena itu. Setiap aksi dan demonstrasi
yang dilakukan oleh mereka yang peduli pada kesejahteraan masyarakat dianggap
sebagai perlawanan yang tidak berkesudahan, padahal tuntutan itu rasional untuk
ditanggapi oleh penguasa dan mereka yang berkepentingan dengan indicator
“Menanggapi Kepentingan Public” yang seharusnya. Begitupun jawaban dari
permasalahan yang di tanyakanpun setiap tahunnya hampir sama, cenderung tidak
ada bedanya, sebagaimana jawaban-jawaban lain dalam diskusi-diskusi yang lain,
baik itu dalam kapasitas sebagai pemangku kepentingan maupun dalam kapasitas
yang lain, bahwa Harga Kopra Tergantung Pasar. "Ini
terjadi karena harga kopra sepenuhnya tergantung pada harga yang berlaku di
pasaran dunia," kata Kepala Seksi Bina Sarana dan Usaha Perdagangan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Halmahera Utara Demas Kanalung, Rabu (Kompas, 18/1/2012)
di Tobelo. (Sumber : Klik Bangsaha-O’Galela’No)
Keprihatinan inipun telah muncul dalam pemikiran
kita tapi apalah daya kita bukanlah pemilik policy maker, karena kita hanya
pengguna policy maker, dan kita juga hanya bisa berkoar atas dasar kesengsaraan
dan kerumitan hidup yang telah lama membelenggu diri dan para petani. Begitu
juga menjadi suatu hal yang ironis ketika kita semua bahkan Negarapun tahu
bahwa Kabupaten Halmahera Utara adalah merupakan salah satu Kabupaten Kelapa
Indonesia yang berada di Maluku Utara, namun rakyat pemilik kelapa sengsara
oleh ulah pengusaha kelapa itu sendiri yang tidak bisa bahkan “tidak biasa”
diatasi oleh Pemerintah, karna permainan harga menjadi indicator bagi pengusaha
untuk mendongkrak investasi perusahaan yang lebih besar, tanpa memperhatikan
betapa susahnya rakyat dalam melakukan proses pengolahan Kelapa menjadi Kopra.
Dalam hati mereka berkata “Biarlah Anjing Menggonggong Namun Kafilah Tetap
Berlalu”. Rhoma Irama dalam sebuah syairnya menyanyikan “TERLALU” adalah hal
yang lumrah bagi pemerintah untuk membuat rakyat semakin terpuruk dalam
kesejahteraan.
Kopra atau Kelapa adalah komoditi utama Halmahera Utara, yang
juga merupakan asset yang akan hidup selamanya, sampai hari inipun bagi petani
kelapa bahwa kelapa dianggap sebagai dewa penyelamat hidup mereka, sekalipun
mereka merasa stress dan frustasi terhadap harga yang selalu saja fluktuatif
hingga hari ini, hanya pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu saja harga kelapa/kopra ini bisa stabil bahkan
melebihi batas stabilitas keuangan pengusaha dari keuangan kepemilikan kelapa
itu sendiri, sementara disisi lain maraknya para petinggi/pejabat dan pengusaha
yang berbondong-bondong untuk membeli dusun kelapa para petani yang dijual
murah karena terlilit hutang dan biaya sekolah anaknya di Perguruan Tinggi. Adalah
perbuatan yang tidak terpuji yang sengaja dipertontonkan oleh mereka yang dapat
disebut sebagai Kapitalis Lokal berjubah kebaikan. Jika di hitung Prosentasi
kepemilikan kelapa lebih dari separuh penduduk dari seluruh penduduk di
Halmahera Utara memiliki dusun Kelapa, namun prosentasi ini hanyalah
angka-angka yang tidak mendapat prioritas dalam pengambilan keputusan, sehingga
angka-angka prosentase ini hanya menjadi
angka-angka yang tak bermakna dalam putusan mereka. Kekayaan dan kesejahteraan
hanya milik para Tuan/ penguasa kata Iwan Fals dalam sebuah syairnya. Perlu
diketahui bahwa Hal ini sudah lumrah terjadi di
kalangan masyarakat dan Kelumrahan ini menjadi momok yang menakutkan bagi
rakyat kecil yang sesungguhnya menginginkan sedikit kesejahteraan, namun tak
ada yang di dapatkan dari keinginan itu, hanya satu istilah yang didapatkan
yang sering mengalungi leher dan punggung
mereka yakni system Ijon. System
yang sengaja di desain oleh para Kapitalis pengusaha juga penguasa, untuk
membuat ketergantungan petani pada pengusaha yang menjadi underbouw penguasa,
agar petani tidak dapat berbuat banyak dan pengusaha menjadi aman pada
posisinya, baik harga kelapa itu stabil maupun anjlok seperti saat sekarang
ini, dan hanya mereka yang peduli
terhadap orang tua petani kelapa/kopra
mereka yang dapat memperjuangkannya.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Halut,
di daerah itu ada 35.209 petani kopra dengan produksi kopra pada tahun 2011
mencapai 71.325 ton. Adapun luas areal tanaman kelapanya 50.093 hektar. Petani
kopra dan areal tanaman kelapa itu tersebar di seluruh kecamatan berjumlah 17
kecamatan. (Kompas, Facebook Group Bangsaha-OgalelaNo)
Merupakan
angka yang sangat luar biasa jika prosentase dan jumlah Ton kelapa diatas di
konversikan dalam rupiah, maka akan mendongkrak ekonomi rakyat untuk lebih
sejahtera, namun lagi-lagi semuanya terkendala pada hal-hal dan penjelasan yang
tidak masuk akal. Seharusnya pemerintah dan pengusaha ikut bertanggung jawab
terhadap persoalan ini khususnya Dinas Perindagkop dan Dinas Pertanian
Kabupaten Halmahera Utara yang sengaja memainkan Games ini, yang belum saatnya Games
di Game Over kan. Nah pertanyaan terakhir dari persoalan kopra ini kira-kira Siapa
yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap semua ini? Apakah Penguasa
(Pemerintah) ataukah Pengusaha (Pemilik
Modal / Kapitalis)?
3.
Keresahan
social
Kabupaten
Halmahera Utara merupakan Kabupaten yang memiliki segalanya, baik Sumber Daya
Alam ( Tambang Emas, Nikel, Batu Kaca dan Hasil Tambang Lainnya, Kebun Kelapa
dan perkebunan Lainnya) juga ikut meramaikan wilayah ini, begitupun Sumber Daya
Manusianya sangat kompleks, namun lagi-lagi, masyarakatnya miskin di kampungnya
sendiri.
Kurang
lebih 10 tahun berpemerintahan berkabupaten di Halmahera Utara, namun tidak ada
perubahan yang signifikan baik dalam tataran kesejahteraan maupun keadilan
Pembangunan lainnya, sehingga kecenderungan yang muncul di permukaan terkait
dengan negeri ini adalah negeri yang gagal dalam mengelola pemerintahannya.
Skil dan SDM yang seharusnya mengedepankan prinsip management modern “the Right
Men on the Right Place or the Right Men on the Right Job” seakan tidak
tersentuh dalam pemerintahan negeri ini. Pribumi semakin tersingkir ke Hutan
dan pendatang merajalela untuk membabat kehidupan pribumi menjadi tak berdaya.
Keresahan social dan kecemburuan social ibarat bom waktu yang tinggal menunggu
waktu untuk meledakkan diri jika pengelolaan terhadap keresahan ini tidak dikelola
dan di manage dengan baik, sekalipun diketahui bahwa Pemerintahan Halmahera
Utara, masih dalam tataran berbenah, indicator-indikator untuk menuju ke Good Government
dan Clean Governance serta Good Entrepeneaur Governmant belum terlihat secara
sempurna. Pengangguran dimana-mana disudut-sudut negeri ini dan para pencari
kerja hanya berharap jika pemerintah dapat kembali membuka peluang kerja lain atau
memasukkan investor untuk dapat memastikan berjalannya Good Entrepreneaur
Govermant di negeri ini (selain CPNS). Good Democration butuh Political Will
yang terencana dan berhati lapang untuk melanjutkan pemerintahan yang anti
korupsi, anti Nepotisme dan Anti Kolusi rupanya tak akan berwujud pula di
negeri ini. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di terlantarkan begitu
saja, begitu pula penyalahgunaan anggaran dan kewenangan lainnya di biarkan sehingga
memunculakan persepsi yang dapat dikatakan cenderung di tutup-tutupi, baik oleh
penegak hukum, maupun mereka yang berkewenangan untuk mengadilinya.
Pengkultusan individu sudah merupakan barang ampuh yang sengaja di kelola dan
jajahkan di jalan-jalan hanya “dalam rangka dan dalam rangka”. Adalah politik
dalam rangka untuk membentuk pencitraan diri yang juga hanya dalam rangka.
Logiskah negeri ini berdiri diatas dalam rangka dan dalam rangka? Dan
kasus-kasus lain yang merajalela di negeri ini, adalah cermin untuk kita
berbenah, layakkah pemerintahan ini dilanjutkan atau butuh revitalisasi dan
reorientasi untuk berbenah, semuanya tergantung penguasa dan wakil-wakilnya….
Wallahu alam!
Demikianlahlah
sedikit goresan tangan dari keresahan ini dituangkan diatas di hadapan public,
bukan hanya dalam rangka, tapi sekedar mengingatkan antara satu dengan yang
lain, dalam upaya kita berbenah menjadi yang lebih baik dalam Konsep Berkabupaten
yang lebih Terhormat. Dalam bahasa Jawa Jogja disebut sebagai Ginong Pratidino,
Change of the role of the Games atau Bersatu kita teguh dan bersatu kita
berubah, Semoga….
Wallahu
Alam….