Selasa, 12 Juni 2012

Desa : ORLA, ORBA dan Orde Reformasi

Di masa Orde Lama ada yang disebut dengan Desapraja apa itu Desapraja dan bagaimana dasar hukumnya?
Pada Tahun 1965 pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Desapraja dijelaskan dalam UU/19/1965 pasal 1 yang berbunyi : "Kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangga sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta benda sendiri ". Pengertian Desapraja ini merupakan defenisi yang telah dijabarkan dalam UU/22/1948. Dalam UU ini pemberian hak mengatur rumah tangga sendiri lebih tegas, sebagaimana di atur dalam pasal 34 UU/22/1948, secara organisatoris Desapraja didukung oleh alat kelengkapan yang diatur dalam pasal 7 sebagaimana berbunyi "alat-alat Desapraja terdiri atas kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Petugas Desapraja, Pamong Desaparaja, Panitera Desapraja dan Badan Pertimbangan Desapraja".
Adapun fungsi Desapraja dan tugas-tugas alat kelengkapan Desapraja tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja dan merupakan alat pemrintah pusat (Pasal 8)
  2.  Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari mayarakat Desapraja (Pasal 17)
  3. Pamong Desapraja adalah pembantu kepala Desapraja yang mengepalai suatu dukuh dalam lingkungan daerah Desaparaja (Pasal 25)
  4. Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin penyelenggaran tata usaha Desapraja dan tata usaha penyelenggaraan Desapraja dibawah pimpinan langsung kepala Desapraja (28)
  5. Petugas Desapraja adalah pembantu-pembantu kepala Desapraja dan pamong Desapraja dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja (pasal 30)
  6. Setiap Desapraja memiliki Badan Pertimbangan Desapraja (pasal 32). Dan Badan Pertimbangan Desapraja bertugas memberikan nasihat yang di minta atau yang tidak di minta oleh kepala Desapraja (pasal 33). 
Nah dalam kontek ini bahwa di zaman Orde Lama Desa disebut dengan Desapraja, dimana Desapraja juga merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan otonomi tersendiri disamping tugas dan kewenangan juga tersendiri yang cenderung lebih terperinci dan tertata lebih bagus. Sering runtuhnya Pemrintahan Orde lama yang di gantikan dengan Orde Baru Desapraja ini pun berubah dengan tidak memberlakukan UU/19/1965, yang dianggap UU ini tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman ketika itu. Melalui UU/6/1969 UU Desapraja dianggap tidak berlaku lagi, dan mulai saat itu terjadi kevakum dasar Hukum Desa dan cenderung tidak jelas arah terhadap kebijakan Desa. Dengan demikian untuk mengatasi kevakuman itu di terbitkanlah Surat Edaran Mendagri 5/1/1969, tepat pada tanggal 29 April 1969, tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa. Dalam edaran tersebut Desa di beri pengertian  sebagai berikut : "Desa dan daerah yang setingkat adalah kesatuan masyarakat Hukum (rechtsgemeenschap) baik genealogis maupun teritorial yang secara hierarkhis pemerintahannya langsung dibawah kecamatan".
Setelah 10 tahun berada dibawah kevakuman, Pemerintah menerbitkan UU/5/1979 tentang Pemerintah Desa, akan tetapi undang-undang ini cenderung menempatkan desa dan masyarakat desa berada di bawah Kecamatan yang selalu di kontrol oleh Kecamatan sehingga hak otonom dan hak demokrasi cenderung tidak terlaksana. Ada beberapa poin yang dapat di catat mengenai desa di zaman orde baru diantaranya adalah :
1. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terrendah langsung berada dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI.
2. Pemerintah desa terdiri atas Kepela Desa dan Lembaga Musyawarah Desa.
3. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas unsur staf dan unsur pelaksana : Sekretariat desa sebagai staf dan kepala dusun sebagai unsur pelaksana
4. Sekretaris desa memimpin sekretariat desa yang terdiri atas kepala-kepala urusan
5. Desa bukanlah daerah otonom sebagaimana daerah otonom dalam pengertian daerah Daerah Tingkat I / Daerah Tingkat II
6. Desa bukanlah satu satuan wilayah. Desa hanya bagian dari wilayah Kecamatan
7. Desa adalah satuan Ketatanegaraan yang berkedudukan langsung dibawah Kecamatan
Berdasarkan penjelasan diatas telah jelas kedudukan desa di masa orde baru dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah. akan tetapi dasar hukum desa itu diumumkan setelah UU/5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah itu lebih dahulu di undangkan, sehingga pembentukan UU/5/1979 tentang Pemerintah desa  mengacu pada UU/5/1974 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian dikeluarkalah instruksi Mendagri  nomor 9 tahun 1980 sebagai nomenklatur pelaksanaan UU/5/1979 yang memerintahkan kepada Gubernur DATI I di seluruh Indonesia agar melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam UU/5/1979 yang berpedoman pada instruksi Mendagri tersebut. Yang selanjutnya ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan Perangkat Desa.
Sedangkan Desa di zaman Orde Reformasi mengacu pada UUD 1945 hasil amandemen Pasal 18 dan 18 A, dan 18B yang berbunyi :
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2. Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.
Akan tetapi sebelum UUD 1945 diamandemen dikeluarkanlah UU/22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU/25/1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai acuan dalam mengatur Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Desa. Kemudian  UU/22/1999 diganti dengan UU/32/2004 sebagai penyempunaan terhadap UU tersebut serta UU/25/1999 diganti dengan UU/33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut Status Desa dikembalikan sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat yang berwewenang mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada dibawah Kabupaten. Dengan demikian Desa mempunyai Otonomi, yang berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri juga berhak membuat aturannya sendiri. Hanya saja Otonomi desa bukan Otonomi Formal tapi Otonomi Adat.
Jadi kehadiran UU ini telah mengembalikan Hak-Hak Otonomi Desa yang selama ini berada di bawah camat, sehingga Desa bisa dengan leluasa mengatur dirinya sendiri dalam urusan asal-usul dan adat istiadat dan sterunsnya...

(Sumber : Dr. Hanif Nucholis, M.Si. dalam "Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa" 2011.Penerbit Erlangga)

Minggu, 10 Juni 2012

Konsep Desa

Desa dalam konsep keumuman adalah kesatuan masyarakat hukum yang mendiami dan menghuni suatu wilayah yang masyarakatnya saling kenal-mengenal karena adanya hubungan seketurunan (geneologis) ataupun rasa kewilayahan yang membentuk suatu masyarakat yang khas.
Dalam tataran ini kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat desa sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau, artinya konsep desa ini telah ada sebelum datangnya bangsa Belanda di Indonesia, sekalipun saat itu Indonesia yang berbentuk negarapun belum ada, bahkan jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan besar itu ada, seperti Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Demak dan Mataram Islam, desa dan masyarakat desa sudah ada bahkan eksis di negeri ini dengan berbagai struktur kelembagaan yang teratur, tertib dan ajeg.
 Setelah penjajahan Belanda dan negara-negara koloni hengkang dari negeri ini dan Indonesia mencapai Kemerdekaan, para pendiri negara menghendaki agar dalam penyusunan struktur pemerintahan pada era Indonesia merdeka, desa harus menjadi dasar kelembagaannya.
Saat kemerdekaan The Founding Fathers mengusulkan tentang desa tersebut berangkat dari hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli khususnya bangsa Belanda, menemukan bahwa desa dan masyarakat desa telah ada sejak jaman dahulu kala dan telah memiliki kelembagaan yang lengkap dan teratur, sehingga saat itu pemerintah Hindia Belanda kemudian mengesahkan desa dalam satu yuridisnya agar desa diakui sebagai satu kesatuan masyarakat hukum pribumi yang dapat menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Desa juga merupakan satuan pemerintahan terendah dalam status pemerintahan negara yang diberi hak otonomi adat dengan batas-batas tertentu sebagai kesatan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan asal usulnya.
Data terakhir jumlah desa di Indonesia sebanyak 65.189 desa (Ditjen Administrasi Kependudukan Depdagri,2007) berdasarkan data tersebut maka kedudukan desa sangat penting dan strategis sebagai alat untuk tujuan pembangunan nasional atau sebagai lembaga yang memperkuat stuktur pemerintahan Indonesia. Desa disebut sebagai alat tujuan pembanguan nasional karena desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil yang hendak disejahterakan, sedangkan sebagai lembaga pemerintahan, desa sebagai lembaga yang memperkuat lembaga pemerintahan nasional karena desa merupakan kesatuan masyarakat hukum adat desa dan telah terbukti memiliki daya tahan yang luar biasa sepanjang keberadaannya. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat desa telah memiliki struktur kelembagaan yang mapan yang di hormati dan dilestarikan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
Berdasarkan sejarah pertumbuhan desa di Indonesia ada empat tipe desa yang sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang diantaranya:
1. Desa adat (self-governing community). yaitu desa adat yang merupakan bentuk asli dan tertua di Indonesia. Konsep "Otonomi Asli" merujuk pada pengertian desa adat ini. Desa adat mengurus dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan Negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh Negara. Contoh desa adat Pakraman di Bali.
2. Desa Adminstrasi (local state government) desa yang merupakan satuan wilayah administrasi, yaitu satuan pemerintahan terendah untuk memberikan pelayanan adminitrasi dari pemerintah pusat. Desa administrasi dibentuk oleh negara dan merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjalankan tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh negara. Desa administrasi secara substansial tidak mempunyai hak otonom dan cenderung tidak demokratis.
3. Desa otonom (local-self government), yaitu desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom mempunyai kewenangan yang jelas karena diatur dalam undang-undang pembentukannya. Oleh karena itu, desa otonom mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
4. Desa campuran (adat semiotonom), yaitu desa yang mempunyai kewenangan campuran antara otonomi asli dan semi otonomi formal. Di sebut campuran karena otonomi aslinya diakui oleh undang-undang dan juga diberi penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota, sedangkan disebut semiotonomi karena model penyerahan urusan pemerintahan dari daerah otonom kepada satuan pemerintahan dibawahnya ini tidak dikenal dalam teori desentralisasi.
Demikianlah konsep desa yang dapat dijadikan referensi dalam mengenal desa secara dekat yang keberadaannya sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau.

(Sumber : Hanif Nurcholis dalam pertumbuhan dan penyelenggaran pemerintahan desa 2011)

Pengertian dan Konsep Kota

Jika mencermati dalam berbagai literatur mengenai pengertian dan konsep kota, maka kita akan menemukan berbagai macam pengertian dan konsep yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan pengertian dan konsep tersebut. Pada suatu ketika muncul satu pertanyaan : Apakah yang dimaksudkan dengan kota ? Maka dari pertanyaan ini akan mucul juga berbagai jawaban dan persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian dan konsep kota dan wilayah itu sendiri, sehingga memunculkan berbagai khazanah pemahaman terkait dengan itu, yang sebenarnya khazanah pemahaman ini saling memperkuat pengertian dan konsep yang dimaksud tersebut.
Dalam hal ini acuan pengertian dan konsep kota masih  dalam satu pengertian baku yang biasa difahami secara keumuman yang di kelompokkan dalam dua pengertian antara lain : bahwa Kota itu adalah
Pertama : dalam pengertian Umum bahwa Kota adalah suatu daerah yang terbangun yang di dominasi oleh jenis penggunaan tanah nonpertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan ruang yang cukup tinggi dibanding dengan desa yang penggunaan tanah lebih rendah dibandingkan dengan di kota yang intensitasnya lebih tinggi, baik dilihat dari sisi modal, jumlah keterlibatan orang, nilai tambah penggunaan ruang yang dihasilkan juga lebih besar dan keterkaitan dengan penggunaan tanah yang begitu erat, oleh karena penggunaan tanah yang intensitasnya cenderung lebih tinggi, maka kota senantiasa menjadi pusat aktivitas bagi daerah sekitarnya.
Kedua : Kota dalam pengertian administrasi pemerintahan diartikan secara khusus, yaitu suatu bentuk pemerintahan daerah yang mayoritas wilayahnya merupakan daerah perkotaan, dengan batas dan wilayah administarsi yang jelas dan terukur. Kota secara administratif  tidak selalu semuanya berupa daerah terbangun perkotaan (Urban), tetapi umumnya juga masih mempunyai bagian wilayah yang berciri perdesaan (Rural). Daerah Kota dikelola oleh Pemerintah Kota yang sifatnya otonomi dan kedudukannya sejajar dengan Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kota di Kepalai oleh Wali Kota sedangkan Pemerintah Kabupaten di Kepalai oleh Bupati. Perlu juga di Perhatikan bahwa tidak semua kota dalam arti fisik merupakan suatu unit pemerintahan kota yang bersifat otonom. Misalnya, Kota-kota ibukota kabupaten atau kecamatan yang tidak mempunyai struktur pemerintahan sendiri, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintah kabupaten, Sehingga disini ada kerancuan dalam penggunaan Kata Kota. Misalnya, kalau kita menyebut suatu Kota Kabupaten atau Kota kecamatan (Misalnya Kota Tobelo, Kota Weda, Kota Buli, Kota Labuha, atau kota Kabupaten lainnya, dan atau Kota Dokulamo, Kota Soakonora, Kota Salimuli, Kota Gura, Kota Gorua dan kota Kecamatan Lainnya) adalah bukan merupakan kota dalam pengertian adminstrasi pemerintahan, sebab kota-kota yang disebutkan itu tidak mempunyai struktur tersendiri sebagaimana kota yang sebenarnya seperti Kota Ternate, Kota Tidore, Kota Manado dan kota-kota lainnya yang sifatnya otonom.
Nah, jika demikian,  bagaimana cara menyebutkan kota dalam pengertian tersebut?
Pengertian Kota dalam batasan administrasi banyak digunakan dalam managemen Kota, karena dalam melaksanakan menejemen lebih sering dibatasi dalam lingkup wilayah administrsi. 
Sedangkan penyebutan seperti tersebut diatas (Kota Kabupaten dan Kota kecamatan) seringkali di pergunakan oleh masyarakat yang dalam kegiatan kesehariannya bebas melakukan kegiatan lintas batas sehingga tidak lagi memperdulikan batasan administrasi pemerintahan itu sendiri. Jadi bagaimana penyebutan kota-kota yang tersent diatas? Penyebutannya adalah tetap penyebutan sebagaimana biasa, Tobelo tetap disebut sebagai Tobelo, Dokulamo tetap disebut Dokulamo dan seterusnya karena ia hanya menjadi Ibukota Kabupaten dan Ibukota Kecamatan sehingga tidak tepat jika penyebutannya di tambah kata Kota.
(Sumber : Ir. Mulyono Sadyohutomo, MRCP. 
Managemen Kota dan Wilayah, realita dan tantangan 2008)